Rabu, 31 Maret 2010

TEKNOLOGI DALAM BIDANG PERKEBUNAN: SEKARANG, ESOK DAN KEBUTUHANNYA DI INDONESIA





Didiek H. Goenadi

Wayan R. Susila


RINGKASAN
Dengan laju pertumbuhan yang relatif konsisten sekitar 4% per tahun, baik pada situasi ekonomi normal maupun krisis, subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Peran penting tersebut mencakup penyediaan lapangan kerja, devisa, pengentasan kemiskinan, pembangunan pedesaan, dan pelestarian lingkungan.
Di sisi lain, agribisnis perkebunan Indonesia dinilai belum berkembang secara optimal yang tercermin dari rendahnya produktivitas dan efisiensi. Di samping itu, agribisnis perkebunan secara terus menerus menghadapi perubahan lingkungan strategis, baik bersumber pada isu globalisasi, lingkungan, perubahan selera konsumen, perubahan kebijakan ekonomi makro pemerintah, serta dinamika ekonomi makro Indonesia. Agar agribisnis perkebunan dapat terus berkembang maka agribisnis perkebunan harus merespon perubahan tersebut dengan cepat dan tepat. Pengembangan teknologi merupakan salah satu syarat keharusan dalam merespon perubahan lingkungan strategis tersebut.

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia telah menghasilkan berbagai teknologi guna meningkatkan produktivitas dan daya saing agribisnis perkebunan Indonesia. Teknologi yang dihasilkan mencakup teknologi yang berkaitan dengan pemuliaan, bioteknologi, budidaya konvensional dan budidaya organik, panen, pengolahan/industri hilir, penanganan dan pemanfaatan limbah, dan berbagai masukan untuk merumuskan kebijakan guna pengembangan agribisnis perkebunan.
Agribisnis perkebunan yang demikian dinamis menuntut perubahan teknologi perkebunan yang cepat untuk masa mendatang. Pada dekade mendatang, bidang teknologi yang masih perlu terus dikembangkan adalah bidang pemuliaan, tataguna air, bioteknologi dan perkebunan organik, teknologi industri hilir, teknologi pemanfaatan limbah, dan teknologi informatika serta pasar.
________________________________________

PENDAHULUAN
Subsektor perkebunan memegang peranan strategis dalam perekonomian Indonesia. Subsektor perkebunan mempunyai peran yang signifikan dalam penyediaan lapangan kerja dengan kontribusi sekitar 17 juta pada tahun 2003. Peran ini relatif konsisten, baik ketika Indonesia mengalami masa krisis maupun dalam masa booming. Subsektor perkebunan juga sangat strategis dalam penyediaan pangan, seperti minyak goreng sawit dan gula, yang merupakan salah satu pilar stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia. Terhadap PDB secara nasional tanpa migas, kontribusi subsektor perkebunan adalah sekitar 2.9 % atau sekitar 2.6 % PDB total. Jika menggunakan PDB dengan harga konstan tahun 1993, pangsa subsektor perkebunan terhadap PDB sektor pertanian adalah 17.6%, sedangkan terhadap PDB nonmigas dan PDB nasional masing-masing adalah 3.0% dan 2.8% (Badan Pusat Statistik 2004).

Sejalan dengan dinamika yang terjadi, subsektor perkebunan secara terus menerus mengalami perubahan lingkungan strategis. Pertama, perubahan lingkungan strategis tersebut bersumber dari isu globalisasi yang pada dasarnya menuju pada liberalisasi perdagangan dan industri. Hal ini berimplikasi bahwa sektor pertanian Indonesia harus mampu secara terus menerus meningkatkan daya saingnya. Kedua, perubahan lingkungan strategis pada isu-isu lingkungan. Ketiga, sektor pertanian juga mengalami perubahan lingkungan strategis yang berpangkal dari pelaksanaan otonomi daerah. Perubahan faktor politik dan krisis multi-dimensional yang kini dihadapi Indonesia juga merupakan sumber perubahan lingkungan strategis. Merebaknya isu-isu keadilan juga merupakan faktor lain yang turut merubah lingkungan strategis sektor pertanian.

Salah satu strategi yang menjadi keharusan dalam merespon perubahan lingkungan strategis adalah melakukan penerapan teknologi termutakhir. Tanpa terus menerus menerapkan perubahan teknologi, industri pertanian tidak akan mampu bersaing dalam merespon isu globalisasi. Perubahan teknologi juga merupakan respon terhadap tuntutan isu lingkungan, otonomi daerah, dan merespon aspek keadilan.

Sejalan dengan latar belakang isu tersebut, maka dalam tulisan ini akan dibahas mengenai perkembangan teknologi perkebunan yang sudah dikembangkan maupun yang masih perlu dikembangkan pada masa mendatang. Untuk itu, setelah pendahuluan ini, sekilas akan dibahas perkembangan subsektor perkebunan secara umum. Ketersediaan teknologi yang sudah dikembangkan oleh berbagai lembaga penelitian, khususnya, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), akan dibahas pada bagian berikutnya. Selanjutnya, bahasan difokuskan pada teknologi-teknologi yang masih perlu terus dikembangkan. Tulisan diakhiri dengan beberapa catatan penutup.
PERKEMBANGAN DAN PERAN STRATEGIS PERKEBUNAN
Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan paling konsisten, baik ditinjau dari areal maupun produksi. Secara keseluruhan, areal perkebunan meningkat dengan laju 2.6% per tahun pada periode tahun 2000-2003, dengan total areal pada tahun 2003 mencapai 16.3 juta ha. Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia (karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu), kelapa sawit, karet dan kakao tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya dengan laju pertumbuhan diatas 5% per tahun. Pertumbuhan yang pesat dari ketiga komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan areal komoditas tersebut.

Sejalan dengan pertumbuhan areal produksi perkebunan juga meningkat dengan konsisten dengan laju 7.6% pada tahun 2000-2003, dengan total produksi mencapai 19.6 juta ton pada tahun 2003. CPO dari kelapa sawit dan karet merupakan dua komoditas yang mempunyai kontribusi yang dominan. Produksi kelapa sawit tumbuh pesat dengan laju 12.1% per tahun. Pertumbuhan produksi komoditas kakao dan kopi juga relatif pesat pada periode tersebut. Meningkatnya harga-harga produk perkebunan pada tahun 2003 merupakan salah satu faktor pendorong peningkatan produksi tersebut.

Sebagai salah satu subsektor penting dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan secara tradisional mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Sampai dengan tahun 2003, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh subsektor perkebunan diperkirakan mencapai sekitar 17 juta jiwa. Jumlah lapangan kerja tersebut belum termasuk yang bekerja pada industri hilir perkebunan. Kontribusi dalam penyediaan lapangan kerja menjadi nilai tambah tersendiri, karena subsektor perkebunan menyediakan lapangan kerja di pedesaan dan daerah terpencil.

Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB). Dari segi nilai absolut berdasarkan harga yang berlaku. PDB perkebunan terus meningkat dari sekitar Rp 33.7 triliun pada tahun 2000 menjadi sekitar Rp 47.0 triliun pada tahun 2003, atau meningkat dengan laju sekitar 11.7% per tahun. Dengan peningkatan tersebut, kontribusi PDB subsektor perkebunan terhadap PDB sektor pertanian adalah sekitar 16 %. Terhadap PDB secara nasional tanpa migas, kontribusi subsektor perkebunan adalah sekitar 2.9 % atau sekitar 2.6 % PDB total. Jika menggunakan PDB dengan harga konstan tahun 1993, pangsa subsektor perkebunan terhadap PDB sektor pertanian adalah 17.6%, sedangkan terhadap PDB nonmigas dan PDB nasional masing-masing adalah 3.0% dan 2.8%.

Sejalan dengan pertumbuhan PDB, subsektor perkebunan mempunyai peran strategis terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, subsektor perkebunan kembali menunjukkan peran strategisnya. Pada saat itu, kebanyakan sektor ekonomi mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan dimana ekonomi Indonesia mengalami krisis dengan laju pertumbuhan –13% pada tahun 1998. Dalam situasi tersebut, subsektor perkebunan kembali menunjukkan kontribusinya dengan laju pertumbuhan antara 4%-6% per tahun. Ketika ekonomi Indonesia mulai membaik, kontribusi dalam hal pertumbuhan, terus menunjukkan kinerja yang konsisten. Selama periode 2000-2003, laju pertumbuhan subsektor perkebunan selalu diatas laju pertumbuhan ekonomi secara nasional. Sebagai contoh, pada tahun 2001, ketika laju pertumbuhan ekonomi secara nasional adalah sekitar 3.4%, subsektor perkebunan tumbuh dengan laju sekitar 5.6%.

Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor andalan dalam menyumbang devisa karena mempunyai orientasi pasar ekspor. Produk karet, kopi, kakao, teh dan minyak sawit adalah produk-produk dimana lebih dari 50% dari total produksi adalah untuk ekspor. Pada lima tahun terakhir, subsektor perkebunan secara konsisten menyumbang devisa dengan dengan rata-rata nilai ekspor produk primernya mencapai US$ 4 miliar per tahun. Nilai tersebut belum termasuk nilai ekspor produk olahan perkebunan, karena ekspor olahan perkebunan dimasukkan pada sektor perindustrian.

Terhadap isu global yang kini menjadi sorotan internasional seperti kemiskinan, ketahanan pangan, dan isu lingkungan/pembangunan berkelanjutan, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang juga tidak dapat diabaikan. Terlepas kegagalan dalam beberapa proyek PIR, pengembangan berbagai program perkebunan juga telah terbukti mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Suatu studi oleh Susila (2004) menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di wilayah perkebunan kelapa sawit secara umum kurang dari 6%, sedangkan secara nasional jumlah penduduk miskin adalah sekitar 17%.

Peran strategis lain dari subsektor perkebunan dalam isu global yang perlu mendapat perhatian adalah kontribusinya dalam ketahanan pangan. Minyak goreng dan gula merupakan produk perkebunan yang mempunyai peran penting dalam memelihara ketahanan pangan. Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Eropa, berusaha memaksimalkan tingkat produksi pangannya dalam upaya mencapai ketahanan pangan. Seperti diketahui, ketahanan pangan merupakan salah satu syarat penting dalam ketahanan nasional.

Akhirnya, subsektor perkebunan juga berperan penting dalam hal isu lingkungan yang merupakan isu global yang secara konsisten gaungnya semakin menguat. Pengembangan komoditas perkebunan di areal yang marginal merupakan wujud kontribusi subsektor perkebunan dalam memelihara lingkungan/konservasi. Sebagai contoh, pengembangan tanaman teh di daerah pegunungan dengan kemiringan yang tajam dengan kondisi lahan yang kritis, berperan penting dalam konservasi lingkungan. Pengembangan komoditas karet di lahan kering dan kritis juga memberi kontribusi nyata dalam memelihara bahkan memperbaiki lingkungan. Pengembangan komoditas kelapa sawit di lahan rawa juga merupakan wujud kontribusi subsektor perkebunan dalam memelihara lingkungan.
KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PERKEBUNAN
Ketersediaaan Teknologi untuk pengembangan agribisnis perkebunan tersedia di Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) untuk komoditas karet, kelapa sawit, kopi, kakao, teh, dan kina dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan untuk komoditas selain dibawah mandat LRPI. Di samping itu, berbagai lembaga penelitian seperti LIPI, BPPT, dan juga perguruan tinggi turut serta dalam menghasilkan berbagai teknologi perkebunan khususnya teknologi hilir kelapa sawit. Secara garis besar, teknologi/produk yang sudah dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Klon/varietas unggul. Hampir semua komoditas perkebunan utama telah memiliki klon/varietas unggul dengan produktivitas yang tinggi serta sifat sekunder yang lebih baik atau sesuai dengan permintaan pasar. Sebagai contoh adalah karet (IRR-42, IRR-39, IRR-118, BPM-107, BPM-109), kelapa sawit (Dy x P Sungai Pancur 1, DxP Sungai Pancur 2, DxP Lame dan DxP Marihat), tebu ( PS-80–1424, PS-851, PS-862, PS-863), teh (PPS1, PPS2, MPS6, MPS7, GPPS1), kopi (BP-425 dan 542) kapas (Kanesia-8 dan Kanesia-9), dan tembakau Madura.
2. Teknologi pengendalian hama terpadu. Berbagai teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) telah dihasilkan, sesuai dengan tuntutan sisi pembangunan berkesinambungan. Beberapa teknologi PHT yang sudah siap antara lain PHT untuk kapas, kopi, kakao, dan teh.
3. Teknologi peningkatan produktivitas. Berbagai teknologi budidaya telah dikembangkan dan diterapkan. Teknologi tersebut antara lain sistem pola usahatani berbagai tanaman perkebunan, sistem peremajaan partisipatif, pemupukan optimum, dan berbagai teknologi pengendalian hama dan penyakit.
4. Teknologi budidaya, produk organik, dan biotek. Teknologi budidaya organik yang sudah dikembangkan adalah untuk tanakan kopi dan teh. Sedangkan beberapa produk organik yang sudah dipasarkan antara lain bio-fertilizer, Ganoderma dan NoBB, teknologi penurunan Kadar protein Alergen pada lateks dan produksi kuinolin in-vitro.
5. Rekayasa peralatan. Peningkatan efisiensi penggunaan air di pabrik gula dengan biotray, prototipe mesin pengolah teh hijau, mesin petik teh, berbagai teknologi untuk penyulingan minyak atsiri, dan berbagai peralatan untuk mengolah produk kelapa.
6. Teknologi industri hilir. Berbagai teknologi industri hilir perkebunan sudah dikuasai. Untuk karet yang sudah dikembangkan antara lain teknologi barang jadi lateks dan karet seperti O-ring/oil seal pesawat udara dan kapal laut, impeller kapal laut, track shoe, boogie-wheel, tank buffer dan rubber fender. Untuk yang berbasis minyak sawit teknologi yang sudah dikembangkan antara lain rekayasa pabrik kelapa sawit mini dan super mini serta teknologi formulasi palm frying shortening, teknologi produksi produk-produk oleokimia turunan seperti biodiesel, pelumas dan gemuk (grease), bioemolien, plasticizer, sabun dan lilin. alat dan mesin untuk pengolahan kopi skala kecil. Berbagai teknologi industri hilir berbasis kopi (kopi bubuk, kopi instant), kakao (pasta, cokelat), teh, dan kelapa juga sudah dikembangkan.
7. Analisis dan sintesis kebijakan. Berbagai hasil analisis dan kajian yang berkaitan dengan kebijakan perkebunan sudah dilakukan. Kajian-kajian tersebut antara lain menyangkut usulan kebijakan pajak ekspor CPO, tarif impor gula, penghapusan PPn, kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekspor produk-produk teh, kopi dan karet Indonesia, usulan kebijakan percepatan pengembangan industri hilir perkebunan, alternatif model peremajaan tanaman perkebunan.
8. Teknologi pengendalian limbah. Berbagai teknologi untuk memproses limbah atau by-products sudah berhasil dikembangkan. Beberapa teknologi tersebut adalah teknologi berbasis produk samping kelapa (serabut, nata de coco, arang aktif, sarabuteX-SP) teknologi asap cair pada pengolahan karet untuk mengurangi polusi bau, teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit (briket arang, kompos)
9. Sistem Informasi Agaribisnis Perkebunan. Bisnis yang demikian dinamis memerlukan dukungan data dan informasi yang cepat, akurat, dan terkini. Untuk itu, LRPI telah mengembangkan suatu Sistem Informasi Agribisnis Perkebunan (SIAP) sejak tahun 2002 guna mengkomunikasikan dan menginformasikan berbagai data, informasi, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan bisnis perkebunan. Informasi tersebut mencakup isu/ulasan terkini perkebunan, data dasar perkebunan, data ekonomi makro, pasar, harga, teknologi, produk, jasa, studi, tenaga ahli, dan kalender kegiatan perkebunan. Informasi tersebut dapat diakses pada website LRPI : www.ipard.com.
TEKNOLOGI YANG PROSPEKTIF UNTUK DIKEMBANGKAN
Walaupun sudah banyak teknologi yang dikembangkan dengan cakupan yang demikian luas, agribisnis perkebunan masih sangat membutuhkan dukungan teknologi baik yang berkaitan dengan dari industri hulu (upstream industries) maupun dengan industri hilir (downstream industries). Seperti diuraikan sebelumnya, pada masa mendatang, isu sentral masih pada peningkatan daya saing, pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, dan perubahan selera konsumen/pasar yang sangat dinamis. Untuk menjawab hal tersebut, secara garis besar teknologi yang masih prospektif untuk dikembangkan adalah sebagai berikut :
1. Bidang Perbenihan/Pembibitan. Salah satu sisi teknologi perkebunan yang masih sangat dibutuhkan pada masa mendatang adalah teknologi pada bidang pembenihan/pembibitan. Rendahnya produktivitas industri pertanian di Indonesia salah satunya berpangkal pada lemahnya pada bidang perbenihan. Indonesia masih ketinggalan dalam bidang ini bila dibandingkan dengan beberapa negara pesaing, khususnya Thailand dan Malaysia. Di samping itu, tututan selera konsumen yang semakit “cerewet” membutuhkan perbaikan sifat-sifat sekunder tanaman yang sesuai dengan selera konsumen. Sebagai contoh, konsumen menuntut CPO dengan kadar kolesterol yang rendah, kopi dengan kadar kafein yang rendah dan aroma yang kuat, serta teh dengan kadar katekin yang tinggi. Hal ini antara lain dapat dipenuhi melalui perbaikan sifat sekunder dari tanaman.
2. Bidang tataguna air. Salah satu penyebabnya produktivitas tanaman perkebunan Indonesia yang masih relatif rendah dan fluktuatif adalah kelemahan dalam manajemen dan teknologi tataguna air. Berbagai komoditi perkebunan Indonesia, seperti tebu dan teh memerlukan managemen tataguna air yang memadai. Di samping itu, sumberdaya air semakin lama semakin dinilai langka sehingga meningkatkan nilai ekonomisnya. Oleh karena itu, pada masa mendatang, teknologi yang berkaitan dengan manajemen sumberdaya air pada masa mendatang akan semakin dibutuhkan.
3. Bidang Teknologi Produk Bio. Tuntutan produk yang sehat dan alami (produk bio) serta manajemen perkebunan yang menekankan pada pemeliharaan lingkungan (bersahabat dengan lingkungan) menuntut respon perubahan teknologi yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, berbagai teknologi bio yang ramah lingkungan akan semakin dibutuhkan pada masa mendatang. Berbagai input pertanian seperti pupuk dan pestisida bio diperkirakan akan mempunyai prospek yang baik sehingga investasi teknologi pada bidang tersebut diperkirakan masih cukup prospektif.
4. Bioteknologi perkebunan. Salah satu hambatan terbesar dalam bidang pemuliaan tanaman perkebunan yang konvensional adalah time lag yang demikian panjang antara penelitian dan hasil. Bioteknologi diperkirakan akan mempunyai peran penting untuk mengatasi masalah tersebut sehingga bioteknologi untuk pemuliaan tanaman merupakan teknologi yang sangat dibutuhkan pada masa mendatang. Teknologi penyakit dini dengan teknologi biotek juga sangat mendesak untuk dapat diwujudkan. Di samping tiu, berbagai produk bioteknologi perkebunan seperti formulasi produk-produk dalam bentuk pupuk atau bio pestisida juga mempunyai pasar yang terus berkembang.
5. Teknologi industri hilir perkebunan. Produk perkebunan Indonesia masih didominasi oleh produk primer; di sisi lain, nilai tambah lebih banyak diperoleh dengan memproduksi produk hilir di samping stabilitas harga yang jauh lebih terjamin. Oleh karena itu, berbagai teknologi industri hilir perkebunan masih prospektif untuk terus dikembangkan. Sebagai ilustrasi, berbagai produk turunan kelapa sawit, karet, kakao, dan kelapa belum dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh industri perkebunan di Indoensia. Oleh karena itu, investasi teknologi pada bidang ini dinilai masih mempunyai peluang yang cukup terbuka. Berbagai produk turunan dari industri perkebunan Indonesia masih dinilai potensial untuk berkembang sehingga investasi teknologi pada bidang tersebut harus dioptimalkan.
6. Teknologi pengelolaan/pemanfaatan limbah. Budidaya perkebunan dan pengolahan produk perkebunan, seperti sawit, kelapa, kakao, menghasilkan limbah padat dan cair yang demikian besar. Oleh karena itu, teknologi pengelolaan dan pemanfaatan limbah masih tetap merupakan teknologi yang prospektif untuk dikembangkan. Di samping untuk mengatasi isu lingkungan, pengembangan teknologi tersebut juga akan meningkatkan nilai tambah industri perkebunan secara signifikan.
7. Teknologi informatika dan pasar. Dinamika dan risiko (fisik maupun pasar) produk industri perkebunan relatif tinggi. Untuk menyiasati hal tersebut, teknologi informatika dan pasar merupakan salah satu teknologi yang masih dibutuhkan pada masa mendatang. Pengembangan berbagai sistem dan jaringan informasi yang mampu menghasilkan data dan informasi yang akurat, cepat, dan terkini masih masih mempunyai potensi pasar yang cukup besar.

PENUTUP
Industri perkebunan secara terus menerus menghadapi perubahan lingkungan strategis, baik bersumber pada isu globalisasi, lingkungan, perubahan selera konsumen, keadilan, perubahan kebijakan ekonomi makro pemerintah, serta dinamika ekonomi makro Indonesia. Agar industri perkebunan dapat terus berkembang guna mensejahterakan petani pada khususnya, serta masyarakat Indonesia pada umumnya, maka industri perkebunan harus merespon perubahan tersebut dengan cepat dan tepat. Pengembangan teknologi merupakan salah satu syarat keharusan dalam merespon perubahan lingkungan strategis tersebut.

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia telah menghasilkan berbagai teknologi guna meningkatkan produktivitas dan daya saing agribisnis perkebunan Indonesia. Teknologi yang dihasilkan mencakup teknologi yang berkaitan dengan pemuliaan, bioteknologi, budidaya konvensional dan budidaya organik, panen, pengolahan, dan berbagai masukan untuk merumuskan kebijakan guna pengembangan agribisnis perkebunan.

Agribisnis perkebunan yang demikian dinamis menuntut perubahan teknologi perkebunan yang cepat untuk masa mendatang. Pada dekade mendatang, bidang teknologi yang masih perlu segera dikembangkan adalah bidang pemuliaan, tataguna air, bioteknologi dan perkebunan organik, teknologi industri hilir, teknologi pemanfaatan limbah, dan teknologi informatika serta pasar.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2004. ‘Buletin Statistik Bulanan-Indikator Ekonomi'. Badan Pusat Statistik , Jakarta .
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia . 2004. ‘ Riset Perkebunan Sebagai Kunci Peningkatan Daya Saing Produk Perkebunan Indonesia ', Lembaga Riset Perkebunan Indonesia , Bogor
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002. ‘Lima Tahun, Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1997-2001, Membangun Agribisnis melalui Inovasi teknologi', Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian , Jakarta .
Susila, W. R. ‘Contribution of oil palm industry on economic growth and poverty alleviation in Indonesian economic recovery', Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian , 26(2): 12-20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar